Beberapa waktu belakangan toto ini, istilah “healing” rasanya jadi kata kunci yang nggak bisa dihindari di media sosial Indonesia. Mulai dari postingan liburan ke tempat-tempat eksotis, staycation mewah di hotel bintang lima, sampai sekadar menikmati kopi di kedai yang lagi hits, semuanya dibalut dengan narasi “healing.” Fenomena ini menarik untuk kita telaah lebih dalam: apakah ini benar-benar refleksi dari kebutuhan untuk pemulihan diri, atau sekadar tren gaya hidup yang didorong oleh media sosial?
Nggak bisa dipungkiri, kehidupan modern di Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, memang seringkali bikin penat. Tekanan pekerjaan, kemacetan, tuntutan sosial, dan bombardir informasi dari dunia digital bisa menguras energi fisik dan mental. Dalam konteks ini, keinginan untuk “healing” atau memulihkan diri adalah respons yang wajar dan bahkan penting. Setiap orang punya cara sendiri untuk mengisi ulang baterai, dan bagi sebagian orang, itu bisa berarti melarikan diri sejenak dari rutinitas.
Namun, yang menarik adalah bagaimana konsep “healing” ini kemudian direpresentasikan di media sosial. Seringkali, “healing” di-visualisasikan sebagai aktivitas yang melibatkan pengeluaran uang, estetika yang menarik untuk difoto, dan lokasi yang “instagramable.” Liburan ke pantai dengan pemandangan matahari terbenam yang sempurna, menginap di villa dengan infinity pool, atau menikmati makanan mewah di restoran dengan dekorasi unik menjadi representasi visual dari “healing” yang ideal.
Di satu sisi, tren ini bisa dianggap positif karena meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan mental dan memberikan ide-ide bagi orang-orang yang mungkin sedang mencari cara untuk meredakan stres. Industri pariwisata dan gaya hidup juga tentu saja mendapatkan angin segar dari popularitas “healing” ini.
Tapi, di sisi lain, ada beberapa pertanyaan kritis yang muncul. Apakah “healing” harus selalu identik dengan liburan mahal atau aktivitas konsumtif? Bagaimana dengan mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi? Apakah “healing” yang sebenarnya hanya bisa didapatkan melalui pengalaman yang “layak posting” di media sosial?
Ada juga potensi bahaya dari “FOMO (Fear of Missing Out)” terkait “healing.” Ketika linimasa media sosial kita dipenuhi dengan foto-foto dan video orang lain yang sedang “healing” dengan cara yang terlihat mewah dan menyenangkan, bisa muncul perasaan tertinggal atau bahkan bersalah jika kita tidak melakukan hal yang serupa. Padahal, “healing” yang sesungguhnya bisa jadi jauh lebih sederhana dan personal.
Mungkin “healing” yang benar-benar kita butuhkan adalah waktu untuk refleksi diri tanpa gangguan notifikasi media sosial, obrolan mendalam dengan orang terdekat, menikmati hobi yang давно kita tinggalkan, atau sekadar memberikan diri sendiri izin untuk beristirahat tanpa merasa bersalah. “Healing” yang autentik seharusnya berfokus pada pemulihan keseimbangan diri, bukan pada validasi dari dunia maya.
Jadi, di tengah demam “healing” ala Indonesia ini, penting bagi kita untuk tetap kritis dan mendefinisikan “healing” versi diri sendiri. Tidak ada salahnya menikmati liburan atau mencoba pengalaman baru, tapi jangan sampai kita terjebak dalam tekanan untuk terus-menerus menampilkan “healing” yang ideal di media sosial. Karena pada akhirnya, pemulihan yang sesungguhnya adalah perjalanan ke dalam diri, bukan sekadar destinasi yang menarik untuk difoto. Gimana menurut lo, bro? Relate nggak sama apa yang lagi rame sekarang?
Tinggalkan Balasan