Isu mengenai perlindungan batmantoto bandar anak kembali mencuat ke publik ketika Mahfud MD—akademisi hukum dan tokoh nasional yang dikenal vokal dalam advokasi penegakan hukum—menyerukan perlunya reformasi total dalam sistem peradilan pidana anak. Seruan tersebut bukan sekadar kritik, tetapi peringatan serius bahwa berbagai kasus yang muncul belakangan ini menunjukkan bahwa sistem yang seharusnya melindungi anak justru sering kali melahirkan ketidakadilan baru.
Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah kasus yang melibatkan anak—baik sebagai pelaku maupun korban—menjadi sorotan publik. Mulai dari kasus bullying yang berujung kematian, penyiksaan terhadap anak di lingkungan sekolah atau pesantren, hingga kriminalisasi yang dianggap terlalu mudah dikenakan kepada anak di bawah umur. Menurut Mahfud, semua peristiwa itu adalah indikator betapa proses peradilan pidana anak masih jauh dari aman, manusiawi, dan sejalan dengan prinsip perlindungan anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
1. Kritik Mahfud MD: Sistem yang Tidak Konsisten Melindungi Anak
Mahfud MD menilai bahwa persoalan utama terletak pada ketidakkonsistenan aparat penegak hukum—polisi, jaksa, hingga hakim—dalam menerapkan kaidah SPPA. Undang-undang tersebut sudah cukup progresif karena mengedepankan restorative justice, diversi, serta pembinaan dibanding pemidanaan. Namun, pada praktiknya, banyak aparat yang masih terjebak pada paradigma peradilan pidana orang dewasa: memenjarakan, menghukum, dan menakut-nakuti.
Ia menyebut, dalam sejumlah kasus, polisi sering kali langsung menetapkan anak sebagai tersangka tanpa mempertimbangkan alternatif penyelesaian, padahal undang-undang mengamanatkan diversi harus menjadi upaya pertama sebelum proses hukum berjalan lebih jauh. Hal ini menunjukkan bahwa bukan undang-undangnya yang bermasalah, tetapi implementasinya yang lemah.
2. Ketimpangan Pemahaman Aparat Penegak Hukum
Mahfud menjelaskan bahwa masih terjadi gap besar dalam pemahaman aparat terhadap isu peradilan anak. Banyak penyidik yang belum mengikuti pelatihan khusus penanganan anak, sehingga pendekatannya sering salah. Misalnya, interogasi yang dilakukan terhadap anak tanpa pendampingan psikolog atau penasihat hukum, atau penggunaan bahasa intimidatif yang seharusnya dilarang.
Menurut Mahfud, anak yang berhadapan dengan hukum bukan sekadar subjek kriminal, tetapi individu yang sedang tumbuh dan sangat rentan terhadap trauma. Satu kesalahan penanganan bisa berdampak pada perkembangan mental dan karakter anak dalam jangka panjang. Karena itu, reformasi harus dimulai dari pendidikan aparat penegak hukum.
3. Sistem Penahanan yang Tidak Memadai
Salah satu titik kritik lain yang disampaikan Mahfud adalah kondisi lembaga penahanan anak. Idealnya, anak yang terpaksa harus ditahan ditempatkan pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), bukan bercampur dengan tahanan dewasa. Namun, kenyataan di lapangan sering tidak seindah teori.
Pada beberapa daerah, fasilitas LPKA terbatas atau tidak ada sama sekali, sehingga anak justru ditempatkan di rumah tahanan atau lapas orang dewasa. Situasi ini sangat berbahaya, karena anak bisa mengalami kekerasan fisik, seksual, atau tekanan psikologis dari tahanan yang lebih dewasa.
Inilah salah satu alasan mengapa Mahfud mendesak reformasi struktural: negara harus memastikan fasilitasnya tersedia, bukan sekadar meminta aparat untuk mematuhi aturan.
4. Perlindungan bagi Anak Korban dan Saksi
Selain anak yang menjadi pelaku, Mahfud juga menyoroti perlindungan terhadap anak korban dan saksi. Dalam sejumlah kasus kekerasan—misalnya kekerasan seksual di sekolah atau pesantren—anak korban sering kali kembali mendapatkan tekanan dari institusi atau bahkan keluarga pelaku. Tidak jarang, anak juga disalahkan atau didorong untuk berdamai demi menjaga nama baik sekolah.
Mahfud menilai bahwa negara harus hadir lebih tegas dalam memastikan bahwa anak korban tidak kembali mengalami viktimisasi. Prosedur pendampingan harus diperkuat, termasuk konseling jangka panjang, pemulihan psikologis, serta jaminan keamanan dari segala bentuk intimidasi.
5. Tantangan Sosial: Budaya Menyalahkan Anak
Mahfud juga menyinggung bahwa reformasi hukum tidak akan cukup jika tidak diikuti perubahan budaya masyarakat. Indonesia masih memiliki pola pikir yang cenderung menyalahkan anak ketika terjadi masalah, meskipun ia berada dalam posisi korban. Kasus bullying misalnya, sering dianggap sebagai “kenakalan remaja” belaka, sehingga lingkungan sekolah enggan memprosesnya secara serius.
Menurut Mahfud, masyarakat harus belajar memahami bahwa anak tidak boleh menjadi objek kekerasan, sekalipun kekerasan itu dilakukan oleh sesama anak. Perlu pendidikan publik yang lebih kuat mengenai pentingnya lingkungan aman untuk tumbuh kembang anak.
6. Urgensi Diversi dan Restorative Justice
Salah satu fokus reformasi yang ditegaskan Mahfud adalah penerapan diversi—proses penyelesaian perkara melalui mediasi antara pelaku, korban, keluarga, dan pihak terkait—yang harus menjadi prioritas utama dalam sistem peradilan pidana anak.
Diversi tidak berarti membiarkan pelaku bebas tanpa konsekuensi. Sebaliknya, ia bertujuan memastikan bahwa proses penyelesaian berlangsung edukatif, memulihkan, dan mencegah anak mengulangi kesalahannya. Mahfud menilai bahwa ketika diversi diterapkan dengan benar, peluang anak untuk kembali ke perilaku kriminal akan jauh lebih kecil.
Namun, diversi sering kali gagal karena aparat masih memprioritaskan pendekatan hukum formal. Polisi atau jaksa kadang menilai kasus “terlalu berat” meski sebenarnya masuk kategori anak, sehingga proses tetap dibawa ke persidangan. Inilah yang ingin Mahfud benahi.
7. Peran Negara dalam Mengawasi Lembaga Pendidikan
Kasus kekerasan di sekolah, pesantren, atau lembaga pendidikan lainnya menjadi perhatian serius Mahfud. Ia menilai bahwa negara tidak boleh membiarkan institusi pendidikan berlindung di balik otonomi atau status yayasan untuk menghindari pertanggungjawaban hukum.
Menurutnya, peraturan tentang pengawasan lembaga pendidikan harus diperkuat agar setiap kasus kekerasan terhadap anak dapat ditangani cepat dan tepat. Lembaga pendidikan harus diwajibkan melaporkan kasus kekerasan secara transparan dan tidak boleh menyelesaikannya di bawah meja.
8. Agenda Reformasi Sistemik
Untuk mewujudkan reformasi total dalam sistem peradilan pidana anak, Mahfud menawarkan beberapa agenda prioritas:
- Pelatihan wajib bagi seluruh aparat penegak hukum dalam penanganan anak.
- Pembangunan dan perbaikan fasilitas LPKA di seluruh daerah.
- Penguatan mekanisme diversi dan proses restorative justice.
- Pemberian sanksi tegas kepada aparat atau institusi yang melanggar aturan SPPA.
- Perlindungan penuh bagi anak korban melalui pendampingan psikologis dan hukum.
- Pengawasan melekat pada lembaga pendidikan agar tidak terjadi lagi penutupan kasus kekerasan.
Menurut Mahfud, tanpa agenda tersebut, kasus serupa akan terus berulang dan sistem peradilan anak akan semakin kehilangan kepercayaan publik.
Penutup
Seruan Mahfud MD untuk melakukan reformasi total dalam sistem peradilan pidana anak bukanlah wacana kosong. Ia merupakan refleksi dari keprihatinan atas lemahnya implementasi hukum yang seharusnya melindungi kelompok paling rentan: anak-anak.
Reformasi bukan hanya urusan pemerintah atau aparat penegak hukum. Ia memerlukan perubahan struktur, kebijakan, dan—yang paling sulit—budaya masyarakat itu sendiri. Agar anak-anak Indonesia tumbuh di lingkungan yang aman, mendapatkan keadilan, serta tidak lagi menjadi korban sistem hukum yang seharusnya melindungi mereka.
